Menko Airlangga: Ekspor Indonesia ke Amerika Cuma 2,2 Persen dari PDB, Tidak Terlalu Berdampak

Menko Airlangga: Ekspor Indonesia ke Amerika Cuma 2,2 Persen dari PDB, Tidak Terlalu Berdampak

HZ
Hasbi Zainuddin

Penulis

Terkinidotid Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Terkini, Makassar - Pemerintah Indonesia merespons penerapan tarif impor resiprokal yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kebijakan impor itu membuat tarif ekspor Indonesia ke Amerika naik menjadi sebesar 32 persen.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa kebijakan itu tidak akan memberikan dampak signifikan bagi perekonomian nasional. Ia menyoroti bahwa ketergantungan ekspor Indonesia terhadap pasar AS masih relatif kecil, sehingga risiko yang ditimbulkan tetap terkendali.

“Kontribusi ekspor ke Amerika hanya sekitar 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) kita. Bandingkan dengan Vietnam, yang 33 persen PDB-nya bergantung pada ekspor,” ucap Airlangga dalam Sarasehan Ekonomi bersama Presiden Joko Widodo di Menara Mandiri, Jakarta Pusat, Selasa 8 April 2025.

Menurut Airlangga, struktur ekspor Indonesia yang lebih terdiversifikasi menjadi kekuatan tersendiri dalam menjaga kestabilan ekonomi nasional. Jika tekanan dari pasar AS meningkat, Indonesia masih memiliki opsi untuk memperluas akses pasar ke negara-negara lain yang lebih prospektif.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang turut hadir dalam acara tersebut, menegaskan kesiapan pemerintah dalam mengantisipasi gejolak global. “Amerika bukan satu-satunya pasar yang menentukan nasib ekonomi kita. Kita punya strategi untuk menghadapinya, Pak Presiden,” ujar Sri Mulyani.

Saat ini, Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia dengan nilai mencapai USD 60 miliar, disusul Amerika Serikat (USD 26 miliar), dan India (USD 20 miliar). Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak terlalu bergantung pada satu negara tertentu.

Lebih lanjut, Airlangga menyebut bahwa sektor-sektor utama seperti tekstil dan alas kaki masih memiliki daya saing tinggi meskipun ada potensi kenaikan tarif. Bahkan, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan dari kondisi ini karena tarif yang dikenakan terhadap produk serupa dari negara pesaing seperti China, Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh umumnya lebih tinggi.

“Ini justru menjadi peluang. Produk kita bisa lebih kompetitif di pasar mereka,” ungkap Airlangga.

Dari sisi harga, Indonesia juga masih unggul. Untuk produk sepatu, misalnya, harga jual di pasar AS bisa mencapai USD 70 hingga USD 80, sementara biaya impornya hanya sekitar USD 6, jauh lebih rendah dari nilai jualnya.

“Rata-rata sepatu kita dijual di kisaran USD 15 hingga USD 20, sedangkan di sana dijual tiga sampai empat kali lipat. Hal serupa juga berlaku untuk produk pakaian,” jelas Airlangga.

Dengan fondasi ekonomi yang kuat dan strategi diversifikasi ekspor, Indonesia dinilai siap menghadapi tekanan global sekaligus menangkap peluang baru di pasar internasional.