Terkini.id, Bangkok - Dilema para ladyboy dalam kondisi pandemi corona di Thailand. Gelombang wabah coronavirus disease 2019 (Covid-19) yang mendera seantero dunia, menyebabkan nelangsa di mana-mana. Berbagai sektor terpuruk, termasuk industri hiburan malam. Pasalnya, penutupan berbagai tempat hiburan dan pembatasan aktivitas guna mencegah penularan virus akut corona, telah mematikan kegiatan pesta beraroma syahwat di Thailand.
Secara tidak langsung, para penjaja wisata birahi harus keluar dari berbagai bar dan mencari nafkah di jalan-jalan yang sunyi. Kendati demikian, pemberlakuan lockdown yang dilakukan Pemerintah Thailand, membuat mereka kehilangan pelanggan karena warga, khususnya para pelancong enggan bepergian dan lebih memilih berada di rumah.
Salah seorang pekerja seks komersial (PSK) yang disamarkan namanya di Nana Plaza, salah satu red district alias wilayah prostitusi di Bangkok mengaku lebih khawatir kelaparan ketimbang virus corona.

Penjaja seks transgender yang kerap disapa “Ladyboy” di Negeri Gajah Putih itu mengungkapkan, sejak masifnya Covid-19 melanda daerahnya, apalagi ditambah pemberlakuan lockdown, otomatis tidak memiliki penghasilan lagi.
“Tidak ada penghasilan lagi, tidak ada uang. Padahal, saya harus makan dan membayar kontrakan tempat tinggalnya. Ini jauh lebih menakutkan daripada virus corona,” imbuh PSK anonim tersebut saat ditemui mangkal di salah satu jalan di Nana Plaza, Bangkok, Thailand seperti dilansir CNN News belum lama ini.
Sekadar diketahui, Nana Plaza adalah salah satu pusat hiburan malam yang populer di Bangkok. Populer karena tempat ini didominasi PSK transgender. Selain Nana Plaza, Soi Cowboy dan Patpong adalah surga bagi para penikmat seks transgender di Bangkok.
Secara umum, kawasan prostitusi di Kota Bangkok dan Pattaya kini sepi setelah berbagai klub malam dan panti pijat tutup. Hal tersebut ditambah akibat pemberlakuan lockdown beberapa waktu lalu sehingga wisatawan mancanegara (wisman) dilarang masuk ke negara monarki tersebut.
Kebijakan itu membuat sekitar 300 ribu PSK, baik para ladyboy maupun pramuria kehilangan pendapatan mereka, dan memaksa mereka untuk turun ke jalan di tengah risiko terpapar Covid-19 yang tengah mewabah.
“Sebenarnya, saya takut virus (corona) itu, tetapi saya butuh mencari pelanggan sehingga saya bisa membayar kontrakan dan membeli makanan,” kata seorang PSK transgender lain yang juga ingin namanya disamarkan, yang ditemui wartawan di Patpong di distrik Bang Rak, Bangkok.

Dalam laporan, pada 3 Maret 2020, Pemerintah Thailand menerapkan jam malam mulai pukul 22.00 malam hingga 04.00 pagi. Penduduk tidak boleh keluar rumah pada saat jam malam dan tetap beraktivitas dalam rumah. Sehingga, semua aktivitas malam, seperti usaha bar, restoran, dan kafe tutup di sana.
Nyaris semua PSK di Bangkok kala itu kehilangan mata pencarian lantaran penutupan sementara pusat hiburan malam seperti bar dan kafe. Biasanya, di bar dan kafe, di luar tarif kencan, mereka bekerja untuk mendapatkan tip sembari menjaring pelanggan untuk diusung ke kamar.
Ketika tempat kerja mereka mendadak tutup, sebagian besar pulang kampung atau kembali ke tempat asalnya sambil menunggu krisis mereda. Beberapa lainnya tetap “bergerilya” mencari pelanggan yang mungkin tidak seberapa di temaram Kota Bangkok.
Kala itu pula, secara ekstrem pemerintah Thailand sendiri telah mengumumkan memberlakukan jam malam hingga 24 jam jika dibutuhkan guna mengendalikan wabah yang telah menginfeksi lebih dua ribu orang dengan 20 pasien Covid-19 yang meninggal di negara itu.
PSK transgender anonim di Nana Plaza, menyebut jika ia dan teman-teman seprofesinya mesti menanggung berat keputusan pemerintah tersebut. Pasalnya, mereka sudah tidak mendapatkan satu pun pelanggan selama 10 hari sementara tagihan indekos sudah jatuh tempo.
Sementara, PSK transgender anonim di Patpong juga merasakan hal yang sama.

“Saya dulu dapat uang yang cukup, sekitar 300 dolar AS hingga 600 dolar AS per minggu. Namun, ketika bar tempat saya bekerja tutup pendapatan saya berhenti juga. Saya menjalani pekerjaan (PSK transgender) ini karena miskin. Jika kami tidak bisa membayar kontrakan, mereka akan menendang kami keluar,” ungkapnya.
Dari pantauan wartawan di Bangkok, memang sesekali ada ekspatriat maupun pelancong domestik masih muncul di sekitar kawasan merah itu, sebelum negosiasi harga jasa kencan berlangsung dengan PSK.
Selanjutnya, mereka menyelinap cepat ke hotel terdekat. Kendati demikian, hal itu tinggal sedikit saja yang dapat disaksikan di Patpong, Soi Cowboy, maupun Nana Plaza.
Sejatinya, risiko tinggi tertular Covid-19 tersebut saat ini jauh melebihi ketakutan terhadap inveksi virus HIV, seperti yang dilansir Bangkok Post belum lama ini.
Kekhawatiran lain, seperti yang dilaporkan, ada ketakutan atas situasi itu berlangsung hingga beberapa bulan, yang bisa memperparah industri pariwisata Thailand.
“Miliaran dolar AS dari para turis bakal membuat ekonomi Thailand memburuk. Situasi seperti ini menyebabkan warga yang bekerja di sektor informal hidup melarat,” demikian lansiran Bangkok Post.
Para PSK sendiri bakal terkunci di rumah mereka di seluruh penjuru negeri dalam beberapa pekan guna meminimalisir penularan virus corona, sebelum geliat pariwisata malam di Thailand benar-benar hidup kembali hidup.
Mereka yang termasuk PSK, secara formal dianggap ilegal namun diterima secara umum sebagai bagian dari kehidupan malam Thailand.
“Ada kekhawatiran, skema darurat pemerintah Thailand untuk memberikan bantuan sebesar 150 dolar AS atau sekitar 5.000 baht hingga jutaan baht ke pengangguran baru selama tiga bulan ke depan, tidak merangkul para PSK karena tidak dapat membuktikan diri sebagai pekerjaan resmi,” tutup laporan itu.