Ini Tanda-tanda Tsunami Menurut Warga Pesisir Banyuwangi

Ini Tanda-tanda Tsunami Menurut Warga Pesisir Banyuwangi

Effendy Wongso

Penulis

Terkinidotid Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Terkini.id, Jakarta - Tsunami, kata itu terdengar demikian menakutkan. Pasalnya, bencana alam yang tidak terduga itu menyisakan kenangan giris bagi para korban, terutama penyintas yang masih hidup.

Terkait tsunami, bencana tsunami sempat menghantam daerah di pesisir selatan Jawa, termasuk Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1994 lalu. Kala itu, ratusan orang dinyatakan tewas dalam peristiwa tersebut.

Berdasarkan kajian Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sekarang potensi gempa bumi besar yang dapat memicu gelombang tsunami di wilayah selatan Jawa Timur kembali muncul. Menyoal hal itu, masyarakat pesisir selatan Banyuwangi terus mendapatkan sosialisasi mitigasi bencana tsunami.

Selain memanfatakan teknologi, masyarakat di pesisir selatan Banyuwangi rupanya memiliki kearifan lokal sebagai langkah untuk mitigasi bencana tsunami. Di Desa Sarongan, Banyuwangi, masyarakat setempat mempunyai kearifan lokal terkait tanda-tanda terjadinya tsunami, selain adanya gempa besar.

Tanda tersebut berdasarkan pengalaman wilayah desa ini yang sempat dihantam tsunami pada 1994 itu. Ketua Desa Tangguh Bencana (Destana) Sarongan Agus Salim Afandi menjelaskan, ada dua peristiwa janggal yang ditandai jika akan terjadi tsunami.

Pertama, yaitu ikan-ikan terlihat menepi ke area pantai. Fenomena ikan minggir ini dipercaya karena di dalam laut sedang terjadi peristiwa yang tidak biasa.

“Kalau tsunami itu, ikan minggir. Mereka tahu, kok terjadi ikan minggir ini kan terjadi sesuatu, warga pasti curiga," bebernya saat dihubungi wartawan, seperti dilansir Kompas.com, Kamis 10 Juni 2021.

Selanjutnya, sambung Agus, air laut biasanya berbau lebih tajam dan menyengat dibandingkan hari-hari biasanya.

"Ini asinnya menyengat sekali kalau terjadi tsunami. Ini orang dulu (yang mengalami tsunami) yang bilang begitu," paparnya.

Agus menambahkan, warga Desa Sarongan sudah terbiasa dan tahu apa yang dilakukan jika terjadi tsunami. Salah satunya jika terjadi gempa besar, mereka sudah pasti mencari tempat tinggi untuk evakuasi diri.

Menurutnya, warga juga sudah terbiasa dengan mitigasi skema 20-20-20. Skema ini adalah pedoman mitigasi bencana bagi masyarakat awam, terutama yang tinggal di kawasan pesisir pantai.

Skema itu sendiri menjelaskan, jika masyarakat merasakan guncangan selama 20 detik, maka setelah itu harus mengevakuasi diri. Pasalnya, dalam 20 menit potensi tsunami akan terjadi. Selanjutnya, masyarakat diimbau lari menjauhi pantai menuju tempat yang lebih tinggi, dengan ketinggian minimal 20 meter.

“Kita sudah persiapkan daerah 20 meter ke atas, ini agar masyarakat aman. Kita sudah memberi angan-angan ke masyarakat, hingga pengenalan tanda-tanda,” ungkap Agus.

Dulu sebelum 1994, sebutnya, masyarakat belum tahu apa itu tsunami dan tanda-tandanya.

“Dulu tak tahu, sekarang sekali ada gempa meski tak kuat, sudah lari. Jika sirine bunyi langsung lari," ujarnya.

Latihan mitigasi semcaam itu selalu dilakukan dua hingga tiga kali dalam setahun. Hal tersebut untuk mempertajam insting warga jika ada tanda-tanda tsunami.

Agus menjelaskan, Destana merupakan desa tangguh bencana yang dibentuk BPBD. Destana beranggotakan 35 orang yang bertugas memberikan sosialiasi bencana.

"Ruhnya kami di sosialisasi, minimal dua-tiga kali dalam setahun mitigasi bencana," imbuhnya.

Sekadar diketahui, sebanyak 60 warga Desa Sarongan menjadi korban tsunami pada 1994 lalu. Dari jumlah itu, 43 orang dinyatakan hilang.

Sementara iti, Kasi Pencegahan Bencana BPBD Banyuwangi, Yusuf Arif mengatakan, ada enam desa di pesisir pantai selatan Banyuwangi yang membentuk Destana. Di antaranya Desa Sumberagung, Desa Pesanggaran, Sarongan, Grajagan, Muncar, dan Kedungringin.

"Di desa-desa tersebut sudah dilengkapi rambu dan jalur evakuasi ketika sewaktu-waktu bencana datang,” tutupnya.