Terkini.id, Yogyakarta - Berwisata ke Keraton Yogyakarta, fun dan sarat unsur edukasi. Pandemi Covid-19 yang masih mewabah di dunia, termasuk Indonesia turut menyeret perekonomian nasional, khususnya dalam bidang pariwisata. Kendati demikian, upaya preventif penegakan protokol kesehatan (prokes) harus tetap dilterapkan dan dipatuhi. Tujuannya, jika pandemi corona telah mereduksi, tentu duna pariwisata di Tanah Air akan kembali semarak.
Nah, tetapi bagi yang sudah tidak tahan ingin berwisata santuy, ada referensi tempat yang bagus untuk Anda. Tetapi, tentunya tetap dengan mematuhi prokes 3M, loh? Let’s to the point, tempatnya berada di Yogyakarta, yaitu Keraton Yogyakarta.
Kenapa harus Yogyakarta? Jawabannya, banyak ilmu pengetahuan yang bisa diperoleh saat mengunjungi Keraton Yogyakarta. Mulai kebudayaan Jawa, pertunjukan seni, hingga sejarah masuknya kebudayaan lain di ranah Jawa.

Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan nama Keraton Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Jika ingin berwisata yang fun namun sarat unsur edukasi, jangan lewatkan kesempatan ke tempat ini.
Lokasi Keraton Yogyakarta berada di tengah-tengah Yogyakarta. Ketika diambil garis lurus antara Gunung Merapi dan Laut Kidul, maka keraton menjadi pusat dari keduanya. Keraton Yogyakarta merupakan kerajaan terakhir dari semua kerajaan yang pernah berjaya di Tanah Jawa.
Ketika kerajaan Hindu-Buddha berakhir, diteruskan kerajaan Islam pertama di Demak, lalu berdiri kerajaan lain seperti Mataram yang didirikan Sultan Agung. Terakhir, muncul Keraton Yogyakarta yang sampai sekarang masih menyimpan kebudayaan yang sangat mengagumkan.

Di tempat ini, wisatawan dapat belajar dan melihat langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan. Keraton Yogyakarta dibangun Pangeran Mangkubumi pada 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti.
Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya keraton, lantaran tanah tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Kendati sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak akibat gempa besar pada 1867, bangunan Keraton Yogyakarta tetap berdiri kokoh dan terawat baik.
Mengunjungi Keraton Yogyakarta akan memberikan pengalaman yang berharga, mengesankan, dan sarat unsur pendidikan.
Jika masuk dari Tepas Keprajuritan, wisatawan bisa memasuki Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil, serta melihat koleksi beberapa kereta keraton. Sementara, jika masuk dari Tepas Pariwisata maka bisa memasuki Kompleks Sri Manganti dan Kedhaton.
Di sini, terdapat Bangsal Kencono yang menjadi balairung utama kerajaan. Jarak antara pintu loket pertama dan kedua tidak jauh. Wisatawan cukup menyusuri Jalan Rotowijayan dengan jalan kaki atau naik becak.

Tiket masuk ke Keraton Yogyakarta sangat terjangkau. Cukup menyisihkan uang sekitar Rp 10 ribu, sudah bisa menikmati hampir semua lingkungan istana yang berdiri megah dan indah. Wisatawan diharuskan untuk tidak memakai topi atau kacamata hitam bila masuk ke lingkungan keraton guna menghormati kebudayaan Jawa. Jam berkunjung ke keraton untuk Minggu dan hari lainnya dibatasi dari pukul 07.00-12.00 WIB.
Ada banyak hal yang bisa disaksikan di Keraton Yogyakarta. Mulai aktivitas “abdi dalem” yang sedang melakukan tugasnya, atau melihat koleksi barang keraton. Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan tersebut, baik keramik, barang pecah-belah, senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik.
Wisatawan juga dapat melihat sudut keraton yang lain seperti Kedhaton, yang merupakan tempat bertemunya raja dengan semua pemangku keraton. Dengan suasana bangunan “joglo” yang indah, dengan beberapa ornamen ala Jawa-Arab, menghiasi setiap tembok dan pilar, juga berbagai tanaman rindang, menambah suasana sakral Jawa yang sejuk dan damai.

Pilar-pilar yang berjajar sedemikian rupa di Kedathon, menambah gagah dan kuatnya Keraton Yogyakarta. Beberapa bangunan taman juga menghiasi setiap sudut komplek Kedhaton Keraton Yogyakarta.
Ada yang menarik di kompleks Kedhaton, ketika wisatawan masuk pintu area keraton, maka akan selalu bertemu para penjaga atau yang biasa disebut Abdi Dalem.
Abdi Dalem tersebut tidak boleh atau dilarang untuk membelakangi Kedhaton. Alasannya, Kedhaton merupakan simbol raja. Di tempat ini, Raja duduk dan begitulah salah satu cara untuk menghormati raja.
Pertunjukan Seni Khas Jawa yang Eksotik
Apabila datang sekitar 09.00 WIB, wisatawan berkesempatan melihat pementasan tari khas Jawa. Pagelaran tari-tari Jawa berbagai cerita yang dipentaskan penari andal, mampu memukau penonton, sehingga terbawa suasana sakral yang sangat menghipnotis. Diiringi suara gemelan yang mengalun indah, bercampur bait-bait Jawa, dilantunkan indah pesinden dan warangono Keraton Yogyakarta.

Selain tari, juga disajikan pentas wayang orang yang sangat menarik. Wayang orang ini berbeda dibandingkan pentas kebanyakan. Pasalnya, gerakannya hampir mirip gerakan balet. Pementasan tari Jawa tersebut dilakukan di tempat terbuka, mirip dengan pendopo keratin. Jadi, wisatawan dapat leluasa menyaksikan dari berbagai sudut. Kesempurnaan dari sebuah budaya Jawa, tarian yang indah layak untuk dilihat.
Untuk menikmati pertunjukan seni, wisatawan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Jika datang pada Selasa Wage, bisa menyaksikan lomba “jemparingan” atau panahan gaya Mataraman di Kemandhungan Kidul.
Jemparingan ini dilaksanakan dalam rangka tinggalan dalem Sri Sultan HB X. Keunikan dari jemparingan ini adalah setiap peserta wajib mengenakan busana tradisional Jawa dan memanah dengan posisi duduk.
Ada Pasukan Bugisan dan Dhaeng dari Sulawesi Selatan
Sejarah mencatat, perang Trunajaya melawan Mataram dan penjajah pada 1670-1679, juga melibatkan prajurit-prajurit Bugis-Makassar. Dua bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Galesong, dan Daeng Naba, berada di dua kubu yang berbeda. Karaeng Galesong membantu Trunajaya, sementara Daeng Naba menyusup ke kesatuan penjajah Belanda, menopang kekuatan Mataram.

Dari beberapa prajurit keraton, ada dua kelompok dari pasukan tersebut dinamakan Prajurit Bugisan (Bugis) dan Dhaeng (Daeng) dengan segala atribut yang meraka kenakan. Yang menarik adalah instrumen musik yang mereka pakai saat prosesi upacara adat di Keraton Yogyakarta.
Pasukan Keraton Bugisan dan Dhaeng, dalam prosesi adat mengunakan musik yang sudah berbeda dari yang diketahui dari suku Bugis-Makassar, yaitu mengunakan ganrang (gendang), suling, gong, dan puik-puik (instrumen tiup yang menyerupai suling). Barikade musik pasukan Keraton Bugisan dan Dhaeng mengunakan instrumen tambur, suling, bende, ketipung, dan puik-puik.