Terkini.id, Makassar - Aktivitas pertambangan yang gencar dilakukan di Tanah Air, memicu masalah kerusakan lingkungan yang besar.
Apalagi, baru-baru ini ramai pemberitaan kasus korupsi pertambangan timah yang menyebabkan kerugian lingkungan senilai Rp240 Triliun.
Head of Communications PT Vale Indonesia, Bayu Aji mengungkapkan, ada hal positif di balik ramainya pemberitaan kasus timah tersebut. Karena membuka mindset masyarakat untuk lebih peduli pada kerusakan lingkungan. Tidak cuma fokus pada kerugian negara.
"Padahal, perkiraan terkait kerugian akibat kerusakan lingkungan ini juga penting," ungkap dia saat berbincang-bincang buka puasa bersama media di Makassar, Rabu 3 April 2024.
Lebih lanjut, menurut dia, Indonesia wajar menjadi sasaran aktivitas pertambangan karena potensi Sumber Daya Alam yang besar. Salah satunya adalah nikel.
"Nikel kita (Indonesia) ini kan terbesar di dunia, kebutuhannya salah satunya untuk baterai listrik. Jangan sampai hasilnya dipakai di negara-negara lain tapi dampaknya ke Indonesia," ungkap Bayu Aji.
Menurut Bayu Aji, jika tidak dikelola dengan baik dengan mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan, pertambangan nikel bisa merusak lingkungan.
"Kami di PT Vale mengedepankan keberlanjutan. Secara global, orang orang menyebutnya ESG atau Environment, Social dan Governance atau tata kelola," jelas dia.
Tambang nikel di dunia dikenal dengan dua jenis, yakni laterit dan sulfida. Jenis laterit umumnya ditemukan di kedalaman tanah, sehingga perlu penggalian. Jenis ini yang umumnya berada di Indonesia.
"Di Indonesia, itu jenis laterit. Laterit itu ambilnya dalam banget di dalam tanah. Sehingga tantangannya adalah bagaimana mengelola air, sehingga air yang mengalir di sekitar tambang tetap jernih," jelas dia.















