Indonesia Pertimbangkan Batalkan Impor Migas dari AS jika Tarif 32 Persen Tetap Berlaku

Indonesia Pertimbangkan Batalkan Impor Migas dari AS jika Tarif 32 Persen Tetap Berlaku

HZ
Hasbi Zainuddin

Penulis

Terkinidotid Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Terkini, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengisyaratkan kemungkinan membatalkan rencana impor minyak dan gas bumi (migas) dari Amerika Serikat (AS). Hal ini menyusul keputusan pemerintah AS di bawah Presiden Donald Trump untuk tetap memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen terhadap produk asal Indonesia.

Padahal, Indonesia telah mengajukan komitmen impor energi dari AS senilai USD 15,5 miliar atau sekitar Rp251,1 triliun (dengan kurs Rp16.200 per dolar AS), sebagai bagian dari upaya diplomatik untuk meredam kebijakan tarif tinggi tersebut.

“Kami dari ESDM sudah mengalokasikan sekitar USD 15 miliar untuk belanja energi dari Amerika, tentunya dengan harapan tarif impor bisa diturunkan,” ujar Bahlil saat ditemui di Kompleks DPR RI, Jakarta.

Meski begitu, jika upaya tersebut gagal, Bahlil enggan berspekulasi soal kelanjutan kebijakan impor tersebut. Saat ini, pemerintah Indonesia masih terus melakukan negosiasi dengan otoritas AS hingga pemberlakuan tarif resmi pada 1 Agustus 2025.

"Sampai saat ini, kami masih menunggu arahan dari Pak Menko Airlangga Hartarto selaku ketua delegasi Indonesia dalam perundingan dengan pihak AS," tambahnya.

Inisiatif Impor Langsung Minyak Mentah dari AS

Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia tengah mendorong skema impor langsung minyak mentah dari AS, tanpa melalui negara perantara seperti Singapura.

“Selama ini sebagian besar impor minyak mentah kita berasal dari negara ketiga, terutama Singapura. Ke depan, kami ingin membeli langsung dari produsen utama seperti AS untuk efisiensi dan transparansi,” ujar Yuliot.

Jalin Komunikasi dengan ExxonMobil dan Chevron

Sebagai tindak lanjut, pemerintah telah menjalin komunikasi dengan perusahaan migas raksasa asal AS seperti ExxonMobil dan Chevron untuk menjajaki kerja sama langsung.

“ExxonMobil memiliki produksi global sekitar 5,5 juta barel per hari, sedangkan Chevron sekitar 3 juta barel. Selama ini, sebagian pasokan mereka ke Asia Tenggara dikirim ke Singapura terlebih dahulu, baru kemudian ke Indonesia. Ini membuat data ekspor tidak langsung dari AS,” jelas Yuliot.

Pemerintah berharap skema impor langsung dapat memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam hubungan dagang dengan AS. Namun, kelanjutan rencana ini sangat bergantung pada keputusan akhir pemerintah AS soal tarif.