Terkini - Keputusan pemerintah yang tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2026 dinilai sebagai langkah strategis untuk menekan peredaran rokok ilegal.
Hananto Wibisono, Pemerhati Kebijakan Ekosistem Tembakau Indonesia mengungkapkan, peredaran rokok ilegal sering kali merugikan penerimaan negara dan merusak ekosistem industri tembakau yang sah.
Cukai rokok tinggi, menurut dia, mendorong masyarakat untuk menggunakan rokok ilegal yang harganya lebih murah.
Dia pun menyarankan ke pemerintah agar sebaiknya mempertimbangkan penurunan tarif cukai secara selektif pada Sigaret Kretek Tangan (SKT).
"Langkah ini tidak hanya akan menyelamatkan industri padat karya dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), tetapi juga mendukung keberlangsungan sektor yang menyerap banyak tenaga kerja di tengah pemulihan ekonomi yang masih rapuh," ungkapnya.
Penurunan tarif SKT dapat menjaga daya saing produk legal, mengurangi peredaran rokok ilegal, dan memastikan stabilitas penerimaan negara.
Di sisi kesehatan publik, pengendalian konsumsi rokok, terutama di kalangan generasi muda, tetap harus diperkuat. Program edukasi intensif yang didanai oleh Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dapat menjadi solusi efektif untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya merokok.
Pendekatan ini memungkinkan pengendalian prevalensi merokok tanpa mengorbankan keberlangsungan industri.
Dengan menggabungkan kebijakan pembekuan tarif CHT, penurunan tarif SKT secara selektif, dan pemanfaatan DBHCHT untuk edukasi, pemerintah dapat menciptakan keseimbangan antara menjaga penerimaan negara, melindungi tenaga kerja di industri tembakau, mengurangi peredaran rokok ilegal, dan mendukung kesehatan masyarakat.
Kebijakan ini mencerminkan pendekatan yang komprehensif dan relevan dalam menghadapi tantangan ekonomi dan sosial saat ini.















