Terkini.id, Jakarta - Harmoko, mantan Menteri Penerangan era Presiden Soeharto meninggal dunia, Minggu, 4 Juli 2021 pada pukul 20.22 WIB, di RSPAD Gatot Soebroto.
Semasa hidup, pria kelahiran Nganjuk 82 tahun silam ini, dikenal sebagai orang kepercayaan Soeharto karena kesetiaannya.
Ia adalah orang yang dianggap bisa menerjemahkan gagasan Soeharto kepada publik dengan gamblang.
Harmoko pula yang memunculkan ide Kelompencapir (Kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa), sebuah ide Turba (turun ke bawah) untuk mempropagandakan program-program pemerintah. Seperti dikutip dari tirto pada Senin, 5 Juli 2021.
Sebelum jadi Menteri, selama 23 tahun dia meniti karier sebagai wartawan di beberapa surat kabar Indonesia, seperti Harian Merdeka, Majalah Merdeka, Harian Angkatan Bersenjata, Harian API, Merdiko (surat kabar berbahasa Jawa), Harian Mimbar Kita, hingga mendirikan Harian Pos Kota.
Harmoko yang dikenal dengan ucapannya “Menurut Petunjuk Bapak Presiden" saat bicara di hadapan publik, juga meniti karier di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Dia menjadi Ketua di organisasi wartawan satu-satunya yang diakui pemerintah orde baru tersebut.
Pada saat itu, melansir tirto, PWI yang dipimpin Harmoko condong kepada pemerintah. Mereka tak lebih sebagai kepanjangan tangan Soeharto untuk mengontrol para wartawan.
Misalnya, menurut Goenawan Mohamad, dia memercayai pemberedelan majalah tempo tahun 1982 diusulkan Harmoko, yang saat itu menjabat ketua PWI.

"Menurut Goenawan, sangat masuk akal Harmoko punya kepentingan bisnis sehingga ingin Tempo ditutup," tulis Janet Steele dalam Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita sejak Zaman Orde Baru (2007), seperti dilansir tirto.
Pemberedelan itu dilakukan Menteri Penerangan Ali Moertopo melalui Departemen Penerangan. Ditenggarai gara-gara liputan Tempo soal kampanye Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta.
Karena kiprahnya di PWI, Harmoko dilirik Presiden Soeharto. Ia didaulat menjadi Menteri Penerangan menggantikan Ali Moertopo dan selama 3 periode Harmoko meduduki jabatan itu.
Harmoko mengisi jabatan itu selama 14 tahun dari 19 Maret 1983 sampai 16 Maret 1997, seperti dikutip dari tirto.
Meski berlatar belakang wartawan, bukan sebuah jaminan bagi Harmoko dapat menjaga kebebasan pers di era orde baru.
Alih-alih menjaga, Harmoko justru menjadi momok bagi kebebasan pers Indonesia kala itu.

Selama menjadi Menteri Penerangan, dia kerap mengeluarkan kebijakan yang mengekang kebebasan pers, hingga mendalangi pemberedelan sejumlah media.
Momok itu bermula ketika Harmoko mengeluarkan Peraturan No.1/PER/MENPEN/1984 tentang SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang menurut Taufik Abdullah sebagai implementasi gagasan Harmoko 'Pers Pancalisa'.
Lebih lanjut, menurut Taufik Abdullah, Harmoko memang mendukung gagasan 'Pers Pancasila'. Harmoko memiliki pandangan bahwa walaupun pers itu bebas, namun tetap harus bertanggung jawab; dan pers harus dikontrol untuk mendukung pembangunan dan stabilitas negara.
Hal itulah, menurut Abdullah, yang menentukan arah kebijakannya sebagai Menteri Penerangan.
Kebijakan SIUPP yang dikeluarkan Harmoko itu, menurut Hutagalung, mencerminkan usaha nyata tentang pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers
otoriter.
Hutagalung juga menjelaskan bahwa melalui SIUPP, pers tidak boleh memuat berita yang bertentangan dengan program pemerintah.
Hal inilah yang menurutnya, bentuk intervensi pemerintah membuat pers tidak mampu bersikap independen dan juga kritis.
Puncaknya, tanggal 21 Juni 1994, Harmoko memberedel tiga media sekaligus, yakni Tempo, Tabloid Detik, dan Majalah Editor.
Sehari sebelum pemberedelan, Harmoko dan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dipanggil Soeharto ke rumahnya di jalan Cendana.
Mereka membahas nasib ketiga surat kabar tersebut. Melansir tirto, Harmoko menyarankan kepada bosnya agar Tempo diberedel saja. Kendati ada menteri yang tak setuju, vonis beredel tak terhindarkan.
Keputusan Harmoko itu memancing reaksi keras kalangan wartawan, aktivis HAM, aktivis LSM, politisi, hingga para pembaca Tempo, Detik, dan Editor.
Hal ini dicatat AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dalam Semangat Sirnagalih: 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen (2014).
"Sejumlah orang datang ke Kuningan (kantor Tempo). Di antaranya: pengacara senior Todung Mulya Lubis, pengacara HAM Adnan Buyung Nasution, kolumnis ekonomi Tempo; Syahrir, tokoh aktivis Marsilam Simanjuntak dan sejumlah tokoh lain. Mereka adalah orang-orang yang dikenal kritis terhadap pemerintah saat itu," (hlm. 45).
Di depan kantor Tempo, Adnan Buyung berpidato berapi-api "Saya besok akan berdemonstrasi ke Departemen Penerangan," pekik Buyung di hadapan para wartawan Tempo. (Dikutip dari buku Semangat Sirnagalih: 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen).
Sementara itu, di kantor redaksi Tabloid Detik, masih menurut buku yang sama, perlawanan terhadap Harmoko, umumnya rezim orba juga membara.
"Sejumlah tokoh penting, seniman, budayawan dan aktivis juga berkumpul di kantor Detik, kawasan Gondangdia. Ada sutradara Slamet Rahardjo, Ramadhan K.H (penulis biografi Soeharto) dan pemusik Sawung Jabo. Mereka mengkritik keras pembredelan ini," (hlm. 47).
Sama halnya di kampung Melayu Besar, tempat Majalah Editor berkantor, sejumlah wartawan geram mendengar kabar pemberedelan tersebut.
Menurut buku Semangat Sirnagalih: 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen, tak terlalu jelas apa penyebab Tempo, Detik, dan Editor diberedel.
Ketidakjelasan inilah yang memicu meledaknya demonstrasi di berbagai daerah untuk mendukung pers yang merdeka dan bebas dari tekanan.
Melansir tirto, gerakan ini juga yang menjadi cikal bakal gerakan demonstrasi mahasiswa yang berujung penggulingan Soeharto di tahun 1998.
“Jadi pemberedelan itu membuat mahasiswa semakin yakin bahwa kediktatoran Orde Baru ini harus diakhiri. Dan mereka melakukan usaha-usaha untuk mengonsolidasikan diri, mulai ada saling kontak antar pers mahasiswa dan gerakan yang sudah muncul serta telah menguat pada waktu itu," ungkap Nezar Patria, aktivis gerakan mahasiswa 1998 yang diculik rezim Orba dan pernah menjadi jurnalis Tempo, seperti dikutip Okezone.
Hingga akhirnya Soeharto lengser dari kursi kekuasaannya dan digantikan B.J. Habibie.
Sementara, Harmoko naik tahta menjadi Ketua MPR/DPR, pada 1 Oktober 1997 hingga 30 September 1999.















