Terkini.id, Jakarta - KPK memang dari dulu dinilai kerap dilemahkan oleh pihak yang merasa terganggu dengan pemberantasan korupsi.
Jika sekarang disebut KPK sedang dilemahkan dengan penonaktifan para penyidik seniornya yang notabene sedang menangani kasus korupsi besar, maka dulu pun sama halnya.
Mari kita kilas balik, upaya-upaya apa saja untuk melemahkan lembaga antirasuah ini.
1. Cicak vs Buaya

Upaya pelemahan KPK yang paling terkenal adalah istilah cicak vs buaya.
Analogi ini pertama kali dilontarkan oleh Komjen Susno Duadji, KPK diibaratkan cicak yang kecil sedangkan Polri ialah buaya karena besar.
Upaya kriminalisasi terhadap KPK sering dianggap dilakukan oleh Kepolisian, hal ini tidak terlepas dengan kasus korupsi yang sedang diusut KPK.
Sejak era SBY hingga rezim Jokowi terhitung perseteruan tersebut sudah tiga kali terjadi.
Cicak vs Buaya Jilid Satu
Perseteruan ini pertama kali terjadi bulan Juli 2009. Berawal dari penyadapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Susno Duadji.
Dia diduga terlibat dalam megakorupsi Bank Century. Ia terlibat pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerno.
Bukan cuma itu, Susno Duadji juga terlibat pada kasus korupsi pengamanan dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat dan kasus PT Salmah Arowana Lestari (SAL) milik Anggodo Widjojo.
Melansir detik, Polri tak tinggal diam, puncaknya ketika Bareskrim Mabes Polri menahan dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah.
Mereka dituduh melakukan penyalahgunaan wewenang yang sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 5 UU No 30 tahun 2002 tentang KPK.
Penangkapan dua Pimpinan KPK itu memantik reaksi keras dari aktivis anti-korupsi. Mereka menduga kasus tersebut adalah upaya kriminalisasi KPK.
Setelah dua pekan Bibit dan Chandra ditahan, SBY akhirnya turun tangan. Dia memberikan solusi agar kasus tersebut tidak dibawa ke persidangan.
Cicak vs Buaya Jilid Dua
Perseteruan antara Polri dan KPK kembali terulang pada bulan Oktober 2012.
Konflik ini dipicu dengan langkah KPK yang mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Irjen Djoko Susilo.
Atas dasar itu, Polri lagi-lagi tak tinggal diam. Jumat malam 5 Oktober 2012, puluhan anggota Brigade Mobile mengepung gedung KPK.
Mereka ingin menangkap salah satu penyidik KPK, Novel Baswedan yang dituduh terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Riau.
Para aktivis anti-korupsi kembali bereaksi keras, mereka membuat pagar betis di gedung KPK dan mendesak agar Presiden SBY turun tangan.
Tiga hari kemudian, SBY menyampaikan pidatonya di Istana Negara.
"Solusi penegakan hukum Polri Kombes Novel yang sekarang menjadi penyidik KPK. Insiden itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 2012 dan hal itu sangat saya sesalkan. Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur demikian sehingga muncul masalah politik yang baru," kata SBY pada Senin, 8 Oktober 2012, seperti dikutip dari detik.
Cicak vs Buaya Jilid Tiga
Melansir tirto, perseteruan kembali mencuat saat era Jokowi, tahun 2015. Bermula saat KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus rekening gendut pejabat Polri.
Padahal, Komjen Budi Gunawan sebelumnya telah dipilih Presiden Jokowi sebagai kandidat tunggal Kapolri menggantikan Sutarman.
Kepolisian pun bereaksi dengan cepat, seminggu kemudian, Bareskrim Polri menangkap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto dengan tuduhan memerintahkan saksi sengketa Pilkada Kotawaringin Barat bersumpah palsu.
Jokowi pun dengan cepat memanggil Wakapolri dan Ketua KPK. Kemudian, dia menyampaikan pidatonya di Istana Bogor.
"Saya meminta kepada institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan Undang-undang," kata Jokowi pada Jumat, 23 Januari 2015, seperti dikutip detik.
Dua minggu kemudian, Polri makin menjadi-jadi. Abraham Samad juga ditetapkan sebagai tersangka.
Dia dituduh memalsukan dokumen dan paspor, Polda Sulawesi Selatan dan Barat mengumumkannya pada 9 Februari 2015.
Kalangan aktivis menilai, penyidikan terhadap para ketua KPK adalah langkah balasan dan bagian dari upaya pelemahan lembaga anti korupsi ini.
Kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto berakhir dengan deponir. Jaksa Agung saat itu, H.M Prasetyo menyatakan bahwa perkara tersebut sudah ditutup dengan alasan demi kepentingan publik, seperti dikutip dari kompas.
Hal serupa juga terjadi dengan kasus Bibit dan Chandra, dinyatakan ditutup.
2. Kriminalisasi Antasari Azhar

Baru diangkat menjadi Ketua KPK, Antasari tergolong progresif. Banyak kasus korupsi kelas kakap berhasil dia ungkap.
Diangkat pada tahun 2007 bersama Wakilnya di KPK, Bibit Samad Rianto, Chandra M. Hamzah, Mochammad Jasin, dan Haryono Umar.
Dia langsung tancap gas dengan menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kasus suap BLBI Syamsul Nursalim.
Kemudian, juga penangkapan Al Amin Nur Nasution dalam kasus persetujuan pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatra Selatan.
Selain itu, KPK di bawah kepemimpinan Antasari menetapkan Aulia Pohan, mantan Deputi Gubernur BI sekaligus besan SBY sebagai tersangka kasus korupsi aliran dana BI sebesar Rp100 miliar kepada para mantan pejabat BI dan anggota DPR.
Setelah Aulia Pohan ditetapkan tersangka, Antasari Azhar mengakui bahwa Hary Tanoesoedibjo datang menemuinya pada bulan Maret 2009, seperti dilansir liputan6.
Menurutnya, Hary Tanoesoedibjo diutus oleh SBY yang saat itu menjabat Presiden Republik Indonesia. Hary meminta Antasari agar tidak menahan Aulia Tantowi Pohan, besan SBY.
Namun, Antasari menolak dengan tegas permintaan Hary tersebut.
Ini menjadi titik balik karir Antasari Azhar di KPK. Dua bulan kemudian, dia ditangkap polisi atas tuduhan membunuh Direktur Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.
Dia divonis 18 tahun penjara karena dianggap terlibat dalam pembunuhan berencana.
Belakangan, setelah dia mendapat grasi dari Presiden Jokowi, Antasari Azhar mengungkapkan dirinya menjadi korban kriminalisasi kekuasaan.
Dia menduga dalang dari penangkapannya adalah SBY, hal ini berkaitan dengan posisi Antasari sebagai Ketua KPK yang berhasil menjerat korupsi Aulia Pohan.
Aktivis pro pemberantasan korupsi juga menduga kasus yang menjerat Antasari Azhar seperti dibuat-buat atau rekayasa rezim.
Hal ini dinilai sebagai bentuk pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut Asfinawati, Direktur YLBHI, kini KPK dilemahkan dengan metode baru, yakni lewat penguasaan KPK dari dalam.
Jika dulu KPK dilemahkan dari luar, kini metode baru tersebut berhasil. Pertama, dengan adanya revisi UU KPK.
Kedua, yang sedang hangat dengan dinonaktifkannya pegawai KPK yang berintegritas.















