Terkini.id, Jakarta - Asosiasi Penambang Indonesia (APNI) memastikan pembentukan Indonesia Nickel Price Index alias indeks nikel Indonesia bakal rampung pada akhir tahun 2023 ini.
Dengan begitu, patokan harga nikel di Indonesia tidak lagi mengacu kepada Shanghai Metals Market (SMM), London Metal Exchange (LME), maupun Argus Metals.
Ketua Umum Ketum APNI, Nanan Soekarna, mengatakan peran APNI selain menjembatani kepentingan perusahaan dan pemerintah, menentukan harga patokan mineral nikel dan transaksi FOB, juga akan membentuk indeks harga nikel Indonesia.
"Sekarang APNI sedang mencoba membuat Indonesia Nickel Price Index, sekarang harga itu ditetapkan oleh SMM Shanghai dan London LME," ujarnya saat SOE & Economics Forum, Kamis 12 Oktober 2023.
Nanan menuturkan, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, sepatutnya Indonesia memiliki indeks harga sendiri bukan berkaca pada indeks harga negara lain. Dia menyebut, pihaknya sudah melakukan pendekatan kepada SMM, LME, dan Argus.
"Maka dari itu kami berobsesi ingin membuat Indonesia Nickel Price Index, tidak mudah tapi Alhamdulillah saya approach ke Shanghai, approach juga ke LME, dan Argus," imbuhnya.
Menurutnya, hasil dari diskusi dan konferensi antara APNI dan ketiga indeks harga mineral dunia tersebut membuahkan dukungan bagi pembentukan indeks harga nikel di Indonesia.
"Ketiganya mendukung untuk Indonesia bisa punya indeks sendiri, SMM LME dan Argus bersedia untuk mendukung kita menentukan harga itu bersama-sama," lanjut Nanan.
Selanjutnya, kata dia, APNI sudah mengajukan pembentukan indeks nikel tersebut kepada Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM, dan sudah disetujui.
"Targetnya akhir tahun sudah ada Indonesia Nickel Price Index untuk menggantikan (indeks lain), masa yang menentukan (harga nikel di Indonesia) orang luar sana," tegas Nanan.(sumber: kumparan.com)
Nanan menambahkan, hulu pertambangan nikel dan industri hilir seperti smelter kerap kali mengalami perbedaan pendapat. Nantinya, dia berharap melalui indeks nikel di Indonesia ini bisa mengakomodasi seluruh kepentingan.
"Berantem awalnya tidak akur menentukan harganya, smelter mau murah, hulu mau mahal, tapi patokan saya negara harus untung. Sekarang sudah akur, karena tujuannya bukan hanya profit," tuturnya