Ada dua kemungkinan hasil WTO; menolak atau menguatkan gugatan Uni Eropa. Manakala banding ditolak, alias memutuskan Indonesia melanggar ketentuan WTO, maka Indonesia harus mengubah regulasi sesuai dengan keputusan WTO, salah satunya mencabut kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Dengan adanya pencabutan kebijakan tersebut, maka penambang nikel di Indonesia kembali memiliki opsi untuk mengekspor langsung ke luar negeri.
Keputusan penambang untuk ekspor langsung (menjual ke pasar global) atau menjual ke smelter dalam negeri, nantinya akan dipengaruhi harga jual. Per Desember 2022, merujuk data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), harga bijih nikel kadar 1,8% di tingkat global tercatat USD83,5 (SMM), jauh lebih tinggi dibanding Harga Patokan Mineral (HPM) yang ditetapkan Kementerian ESDM, yaitu USD57,54.
Dengan angka semacam itu, tentu saja, penambang akan lebih suka untuk menjual langsung hasil tambangnya ke pasar global. Lantaran harganya yang lebih menguntungkan.
Walhasil, itu tentu akan mengganggu pasokan bijih nikel untuk memenuhi kebutuhan smelter di dalam negeri. Ujungnya, akan berdampak pula pada kinerja industri pengolahan nikel di Indonesia, di tengah masih terus bertambahnya jumlah smelter penghasil NPI dan MHP yang mulai beroperasi.
Selain itu, kondisi tersebut juga berisiko menahan investasi untuk pembangunan smelter nikel lebih lanjut, di tengah terus meningkatnya investasi di sektor logam dasar. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi di sektor tersebut merupakan investasi tertinggi yang masuk ke Indonesia sepanjang 2022, yaitu mencapai Rp150 triliun.
Langkah Bijak ESDM
Sembari menunggu putusan WTO, sebagaimana diungkap Kementerian ESDM berkomitmen untuk segera menghentikan investasi baru smelter rotary kiln-electric furnace (RKEF) yang menjadi lini pengolahan bijih nikel kadar tinggi. Alasannya, adalah untuk mengimbangi permintaan saprolite yang tinggi, sementara cadangan bijih nikel kadar tinggi dalam negeri itu belakangan ini mulai menipis.
Sebagai informasi, sebagian besar pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di dalam negeri mengolah saprolite dengan teknologi RKEF, sehingga produk yang dihasilkan hanya berupa nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi) yang masih berupa produk setengah jadi. Untuk kemudian dibuat menjadi stainless steel.
Merujuk data dari Dewan Penasihat Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia (Prometindo) kapasitas smelter Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel (FeNi) pada Tahun 2022 tercatat terdapat 135 line smelter NPI berteknologi RKEF dari 65 perusahaan di Indonesia.
Dari sana, logam nikel yang dihasilkan mencapai 9 juta metric ton. Ini memerlukan sekitar 120 juta wmt bijih nikel. Kebutuhan bijih nikel dipastikan akan bertambah di tahun 2023, mengingat jumlah smelter NPI bertambah menjadi 179 line. Maka, bisa dibayangkan, pengerukan alias produksi tambang nikel akan terus diperbesar.
Itulah sebabnya, menghentikan investasi baru smelter berteknologi RKEF yang hanya menghasilkan produk setengah jadi, tentu masuk kategori langkah bijak untuk menjaga hasil bumi (nikel).