Demokrasi Merintih: Apa Kabar Rakyat Indonesia?

Demokrasi Merintih: Apa Kabar Rakyat Indonesia?

EP
Echa Panrita Lopi

Penulis

Terkinidotid Hadir di WhatsApp Channel
Follow

2. Mengaji Politik, Upaya Menolak “Dininabobokan” atas Kemungkaran

Dengan fenomena di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa rusaknya politik sebagai wahana dignitas yang mengandalkan diskursus akal sehat akan dengan gampang berlanjut dengan Fasisme yang diharapkan Soepomo saat sidang BPUPK pada 28 Mei hingga 1 Juni 1945.

Alangkah memalukan jikalau bangsa yang merdeka melalui perjuangan emansipasi yang gegap gempita malah memilih Fasisme sebagai dasar negara.

Lantas, apakah kita mengharapkan Hatta lagi yang hadir untuk memberantasnya? Tentu tidak. Sehingga, di tengah carut-marutnya perpolitikan yang ada, muhasabah terhadap filosofi Republik ini harus terus dilanggengkan. Minimal lewat pendidikan.

Pendidikan setidaknya harus dimengerti sebagai proses humanisasi yang memunculkan potensi-potensi dasar manusia.

Karena dengan pendidikan juga telah berdimensi kritis-reflektif.

Yang artinya pendidikan berbeda dengan doktrin atau indoktrinasi. Sehingga, kita tidak menjadi rakyat yang sesuai dengan pesanan pejabat, tapi menjadi rakyat yang cerdas, inisiatif, dan kreatif berkat instrumen pendidikan.

Lagi-lagi, ini dalam rangka menjaga dan mempertahankan kemerdekaan Republik.

Karena negara milik bersama, rakyat pun harus mendapatkan perhatian atas pemerataan pendidikan. Sehingga, peranan mereka sebagai pengawas pemerintah dapat terealisasi, bukan malah dibungkam, dihilangkan, “dininabobokan” dengan kebodohan dan kemungkaran.

Jikalau pun hal tersebut betul terjadi, rakyat harus berpihak pada oposisi yang totalitatif. Dalam artian, ini tanpa mereduksi makna negatif oposisi sebagai menjadi lawan. Namun sebagai fungsi kontrol agar pemerintah berjalan sesuai alur dan tidak hilang arah.