Adapun tema UN World Interfaith Harmony Week tahun adalah menggali kemampuan pemimpin agama dalam mempromosikan perdamaian dan melawan ekstrimisme dan kekerasan (leveraging the role of Religious leaders in promoting peace and combating extremism and violence).
"Sebuah tema yang sangat kontekstual mengingat berbagai peristiwa dunia yang sangat menyedihkan, khususnya di Timur Tengah," kata pria kelahiran Kajang, 5 Oktober 1967 itu.
Dalam presentasi singkat (tradisi UN yang serba terbatas) dirinya menyampaikan dua hal penting berkaitan dengan tema Konferensi atau pertemuan antar agama itu.
"Pertama, saya kembali mengingatkan bahwa ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia (world peace) adalah tendensi menaiknya ektremisme dalam segala aspek kehidupan manusia," bebernya.
"Di berbagai belahan dunia terpilih politisi-politisi yang ekstrim menjadikan polarisasi manusia semakin tajam. Salah satunya adalah fragmantasi ras di antara manusia yang sangat tajam. Rasisme semakin meninggi dan kebencian antar ras semakin tajam," lanjutnya.
Ekstrimisme bahkan terjadi dalam aspek perekonomian. Kenyataan bahwa modal dunia dipegang oleh segelintir orang dan perekonomian dunia dikendalikan oleh segelintir orang menunjukkan tendensi elstremisme di aspek perekonomian kehidupan manusia nyata.
Akibatnya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan termarjinalkan. Hal yang kemudian menimbulkan gesekan dan perpecahan sosial di antara manusia.
Tentu ekstrimisme pada aspek agama bukan baru. Bahkan seringkali ketika berbicara tentang ekstremisme, banyak orang yang langsung menghubungkannya dengan ajaran agama.
"Hal yang benar namun seringkali tidak adil dan bijak terhadap agama. Saya katakan tidak adil dan tidak bijak karena agama seringkali hanya menjadi kendaraan bagi kecenderungan ekstremisme aspek lain, termasuk di antaranya politisasi agama," imbuhnya.
Kedua, kata dia, di sinilah pentingnya para pemimpin agama untuk terlibat secara langsung dan nyata dalam mempromosikan perdamaian dan memerangi ekstremisme dan kekerasan.