Terkini.id, Jakarta - Terkait wacana bahan kebutuhan pokok bakal kena pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggapi secara serius oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI menilai rencana pengenaan PPN untuk bahan kebutuhan pokok akan menimbulkan mudarat bagi masyarakat. Pasalnya, barang kebutuhan pokok itu penting bagi rakyat.
Seperti diketahui, agenda pengenaan PPN untuk bahan pokok tersebut tercantum dalam draf perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Jika tidak ada alangan, beleid tersebut akan dibahas pemerintah dan parlemen di 2020 ini karena sudah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasionak (Prolegnas) 2021.
Lebih lanjut, Pasal 4A perubahan UU KUP menegaskan, pemerintah akan menghapus kebutuhan pokok dari non objek barang kena pajak (BKP), yang selanjutnya akan dikenakan PPN.
Mengacu pada UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, mengatur kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat terdiri dari beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, daging segar yang tanpa diolah, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran. Selanjutnya, kebutuhan pokok tersebu direncanakan kena PPN.
“Kalau sembako akan dikenakan PPN, maka dampaknya tentu saja harga-harga sembako akan naik,” ungkap Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu 9 Juni 2021.
Menurut Anwar, harga sembako naik tidak masalah jika daya beli masyarakat meningkat. Akan tetapi, masalahnya yang perlu diperhatikan di tengah pandemi Covid-19, usaha dan pendapatan masyarakat sedang menurun.
“Lalu, ketika pendapatan masyarakat menurun, lalu sembako oleh pemerintah akan dikenakan PPN, maka yang akan sangat terpukul tentu saja masyarakat lapis bawah, terutama masyarakat miskin yang jumlahnya saat ini selama Covid-19 mungkin sudah mencapai angka sekitar 30 juta orang. Ditambah lagi dengan kelompok lapisan masyarakat yang ada sedikit di atasnya,” bebernya.
Anwar juga mengatakan, 50 juta orang bisa menjerit akibat ke kebijakan pengenaan PPN. Pasalnya, mereka tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pokoknya.
Terkait hal itu, jika rencana tersebut diimplementasikan maka akan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat yang diklaim akan menurun. Kesehatan masyarakat, termasuk anak-anak, juga terancam kekurangan gizi dengan risiko lahir stunting.
“Maka hal demikian jelas akan sangat-sangat merugikan bangsa, tidak hanya untuk hari ini tapi juga untuk masa depan,” imbau Anwar.
Untuk itu, ia meminta pemerintah untuk kembali mempertimbangkan rencana pengenaan PPN pada kebutuhan pokok. Menurutnya, pemerintah seharusnya melindungi dan menyejahterahkan rakyat.
“Bahkan di dalam pasal 33 UUD 1945 negara dan atau pemerintah diminta dan dituntut untuk bisa menciptakan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat. Dan pengenaan PPN ini malah bisa membuat yang terjadi adalah sebaliknya dan itu jelas-jelas tidak kita inginkan,” tutupnya.















