Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa praktik ini melibatkan berbagai lapisan masyarakat, dari tokoh lokal hingga aparat pemerintahan, yang turut andil dalam membiarkan atau bahkan mendukung praktik tersebut.
Lebih dari sekadar praktik yang mencederai nilai-nilai demokrasi, politik uang juga dipengaruhi oleh kekuatan oligarki yang semakin menguat di Indonesia.
Salah satu contoh konkret adalah dukungan kuat yang diberikan oleh mantan Presiden Jokowi terhadap puluhan calon kepala daerah di berbagai wilayah.
Ini semakin diperparah dengan keberpihakan yang terlihat dari penjabat (PJ) di beberapa daerah, yang diduga telah diatur sejak awal, bahkan ketika Jokowi masih menjabat sebagai presiden.
Kuat dugaan bahwa pengaturan ini puncaknya terjadi ketika calon presiden yang akan dilantik dipanggil oleh Jokowi ke Solo, dan di sana sudah berkumpul para oligarki besar yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan arah politik dan keputusan-keputusan strategis, termasuk komposisi menteri dan calon-calon kepala daerah yang harus mereka dukung.
Keberadaan oligarki dan dukungan yang mereka berikan kepada calon kepala daerah, didorong oleh kekuasaan yang ada, memperburuk kondisi demokrasi di Indonesia.
Para oligarki ini sering kali memanfaatkan jaringan mereka untuk mengendalikan proses politik, memanipulasi pemilu, dan memastikan bahwa calon-calon yang didukung mereka dapat terpilih.
Di wilayah dengan jaringan oligarki yang kuat, seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah, politik uang menjadi senjata utama bagi kandidat untuk memenangkan pemilu, tanpa mengindahkan nilai-nilai etika dan moralitas.
Jika fenomena politik uang ini terus dibiarkan, maka masa depan demokrasi Indonesia akan terancam.
Demokrasi yang seharusnya menjadi sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat, justru akan tergantikan oleh transaksi material yang mengutamakan kepentingan segelintir pihak.