Bahkan memperlihatkan permusuhan dan peperangan yang dilakukan kepada komitmen keagamaan (khususnya Islam) bangsa Indonesia.
Lebih spesifik lagi adalah bahwa ini bisa dilihat sebagai bentuk pengkhianatan kepada bangsa, negara dan agama.
Bangsa dan negara Indonesia yang berlandaskan kepada Pancasila itu secara mendasar berketuhanan.
Berketuhanan itu diartikan dengan memiliki komitmen keagamaan. Komitmen keagamaan itu direalisasikan dalam bentuk menjalankan ajaran-ajaran agama. Dan salah satu ajaran agama itu bagi orang Islam adalah hijab.
Inilah yang saya maksud dengan “pengkhianatan”. Seorang warga negara Indonesia Muslimah dan tidak berjlbab itu pilihan. Tapi untuk pemerintah melarang pemakaian jilbab walau dalam sebuah kegiatan tertentu itu pelecehan agama.
Melecehkan agama itu sama dengan melecehkan Pancasila dan negara sekaligus. Dan seorang warga negara apalagi pejabat di bangsa ini melecehkan Pancasila dan negara itulah sejatinya pengkhianatan. Tak peduli dengan teriakan slogan “saya pancasila, saya nasionalis”.
Saya mencoba menalari alasan perintah membuka jilbab bagi paskibra putrì yang memakainya. Akal sehat saya tidak menemukan alasan “ma’quul” (masuk akal) dari pelarangan berjilbab ketika menjadi anggota pasukan pengibar bendera.
Mengganggukah pergerakan gerak jalannya? Kurang lincahkah nantinya dalam bergerak? Saya tidak menemukan itu.
Karenanya saya melihat yang masalah bukan pada Paskibra putrì yang berjilbab. Tapi yang masalah, mungkin sakit, adalah cara berpikir yang membuat aturan itu.
Saya kemudian selintas membaca di media jika pelarangan itu karena perlu “penyeragaman”. Alasan ini jelas tidak sehat dan (maaf) dungu. Kita adalah bangsa yang ragam dan mencintai keragaman.