Maqashid as-Syariah yang pertama adalah “hifzul hayaah” atau menjaga kehidupan. Sejatinya pada konteks ini esensi kemerdekaan merupakan kehidupan itu sendiri.
Orang yang tidak merdeka sesungguhnya secara esensi sedang mengalami kematian. Dan karenanya memperjuangkan Kemerdekaan itu adalah memperjuangkan kehidupan.
Dengan sendirinya dapat dipahami bahwa penjajahan sesungguhnya perampasan hak hidup. Itulah yang menjadikan Bilal bin Rabah merasa lebih nyaman dan kuat dengan “Laa ilaaha illa Allah”, bahka di saat-saat nyawanya sedang terancam.
Kemerdekaan yang dirayakan hendaknya memperbaharui semangat dan tekad kita untuk membangun kehidupan yang bermartabat dan mulia. Tentu kehidupan yang bermartabat di segala lininya, baik secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan bahkan pada aspek moral dan kemanusiaan.
Beragama itu merdeka
Maqashid as-Syariah yang kedua adalah memastikan bahwa nilai-nilai agama hidup dan terjaga. Dengan agama kehidupan manusia bermakna dan sesungguhnya.
Dengan agamakah kefitrahan hidup akan terjaga. Dan hanya dengan fitrah manusia hidup dengan sesungguhnya.
Karenanya, Kemerdekaan yang dirayakan harus memberikan jaminan dan kebebasan dalam kehidupan beragama.
Pengakuan kemerdekaan seraya memarjinalkan agama dan pemeluknya akan menjadikan kemerdekaan seolah pengakuan palsu.
Mungkin di sinilah salah satu letak kedunguan ketika paskibraka putrì yang berhijab diminta melepaskan jilbabnya.
Syariah hadir untuk menjaga agama (hifzud diin). Maka wujud Kemerdekaan hadir untuk memberikan jaminan dalam kehidupan beragama bagi semua warga negara.